UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
SOSIAL PENYANDANG CACAT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa penyandang cacat
merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak,
kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya di segala
aspek kehidupan dan penghidupan;
b. bahwa untuk mewujudkan kesamaan
kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat diperlukan sarana dan
upaya yang lebih memadai, terpadu dan berkesinambungan yang pada akhirnya akan
menciptakan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat;
c. bahwa sehubungan dengan hal‑hal tersebut
di atas serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang‑undang Nomor 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang‑Undang Dasar 1945;
2. Undang‑undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan‑ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039);
3. Undang‑undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3390);
4. Undang‑undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3495);
5. Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3670);
6. Undang‑undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3702).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dengan Peratuan
Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan
fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
a. penyandang cacat fisik;
b. penyandang
cacat mental;
c. penyandang cacat fisik dan mental.
2. Derajat kecacatan adalah tingkat berat
ringannya keadaan cacat yang disandang seseorang.
3. Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang
memberikan peluang kepada penyandang cacat untuk mendapat kesempatan yang sama
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
4. Aksesibilitas adalah kemudahan yang
disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan.
5. Rehabilitasi adalah proses
refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
6. Rehabilitasi medik adalah kegiatan
pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui tindakan medik agar
penyandang cacat dapat mencapai kemampuan fungsional semaksimal mungkin.
7. Rehabilitasi pendidikan adalah kegiatan
pelayanan pendidikan secara utuh dan terpadu melalui proses belajar mengajar
agar penyandang cacat dapat mengikuti pendidikan secara optimal sesuai dengan
bakat, minat dan kemampuannya.
8. Rehabilitasi pelatihan adalah kegiatan
pelayanan pelatihan secara utuh dan terpadu agar penyandang cacat dapat
memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.
9. Rehabilitasi sosial adalah kegiatan
pelayanan sosial secara utuh dan terpadu melalui pendekatan fisik, mental dan
sosial agar penyandang cacat dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal
dalam hidup bermasyarakat.
10. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha
yang berbadan hukum atau tidak, yang memperkerjakan pekerja dengan tujuan
mencari keuntungan atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan atau badan
hukum, baik milik swasta maupun milik negara.
11. Pengusaha adalah:
a. Orang perseorangan, persekutuan atau
badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan atau
badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau
badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung
jawab di bidang kesejahteraan sosial.
Pasal 2
Penentuan jenis
dan tingkat derajat kecacatan yang disandang oleh seseorang ditetapkan oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
Pasal 3
Upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat bertujuan untuk mewujudkan
kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat.
Pasal 4
Upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat dilaksanakan melalui :
a. kesamaan kesempatan;
b. rehabilitasi;
c. bantuan sosial;
d. pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial.
BAB II
KESAMAAN
KESEMPATAN
Bagian
Pertama
Umum
Pasal 5
Setiap
penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan.
Pasal 6
Kesamaan
kesempatan bagi penyandang cacat diarahkan untuk mewujudkan kesamaan kedudukan,
hak, kewajiban dan peran penyandang cacat, agar dapat berperan dan berintegrasi
secara total sesuai dengan kemampuannya dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan.
Pasal 7
Kesamaan
kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala
aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan
aksesibilitas.
Bagian Kedua
Aksesibilitas
Pasal 8
Setiap pengadaan sarana dan prasarana umum yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau masyarakat, wajib menyediakan aksesibilitas.
Pasal 9
Penyediaan
aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih
menunjang penyandang cacat agar dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.
Pasal 10
Penyediaan
aksesibilitas dapat berbentuk:
a. fisik;
b. non fisik.
Pasal 11
(1) Penyediaan aksesibilitas yang berbentuk fisik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf a dilaksanakan pada sarana dan prasarana umum
yang meliputi:
a. aksesibilitas pada bangunan umum;
b. aksesibilitas pada jalan umum;
c. aksesibilitas
pada pertamanan dan permakaman umum;
d. aksesibilitas
pada angkutan umum.
(2) Penyediaan aksesibilitas yang berbentuk
non fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b meliputi:
a. pelayanan informasi;
b. pelayanan
khusus.
Pasal
12
Aksesibilitas
pada bangunan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a dilaksanakan
dengan menyediakan :
a. akses ke, dari dan di dalam bangunan;
b. pintu, tangga. lift khusus untuk
bangunan bertingkat;
c. tempat parkir dan tempat naik turun
penumpang;
d. toilet;
e. tempat minum;
f. tempat telepon;
g. peringatan darurat;
h. tanda‑tanda atau signage.
Pasal
13
Aksesibilitas
pada jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b
dilaksanakan dengan menyediakan:
a. akses ke, dan dari jalan umum;
b. akses ke tempat pemberhentian
bis/kendaraan;
c. jembatan penyeberangan;
d. jalur penyeberangan bagi pejalan kaki;
e. tempat parkir dan naik turun penumpang;
f. tempat pemberhentian kendaraan umum;
g. tanda‑tanda/rambu‑rambu dan/atau marka
jalan;
h. trotoar bagi pejalan kaki/pemakai kursi
roda;
i. terowongan penyeberangan.
Pasal 14
Aksesibilitas pada pertamanan dan permakaman umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c dilaksanakan dengan menyediakan:
a. akses ke,
dari, dan di dalam pertamanan dan permakaman umum;
b. tempat parkir dan tempat turun naik
penumpang;
c. tempat duduk/istirahat;
d. tempat minum;
e. tempat telepon;
f. toilet;
g. tanda‑tanda atau signage.
Pasal 15
Aksesibilitas pada angkutan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1) huruf d dilaksanakan dengan menyediakan:
a. tangga naik/turun;
b. tempat duduk;
c. tanda‑tanda atau signage.
Pasal 16
Pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a
dilaksanakan untuk memberikan informasi kepada penyandang cacat berkenaan
dengan aksesibilitas yang tersedia pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan
dan permakaman umum, dan angkutan umum.
Pasal 17
Pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b
dilaksanakan untuk memberikan kemudahan bagi penyandang cacat dalam
melaksanakan kegiatannya pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan dan
permakaman umum, dan angkutan umum.
Pasal 18
Standardisasi penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
sampai dengan Pasal 17 ditetapkan oleh Menteri dan Menteri lain baik secara
bersama‑sama maupun sendiri‑sendiri sesuai dengan tugas dan fungsinya masing‑masing.
Pasal 19
Penyediaan aksesibilitas yang berbentuk fisik dan non fisik dilaksanakan
oleh dan menjadi tanggung jawab dari Pemerintah dan masyarakat.
Pasal 20
(1) Penyediaan aksesibilitas oleh Pemerintah dan masyarakat
dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan prioritas aksesibilitas yang
dibutuhkan penyandang cacat.
(2) Prioritas aksesibilitas yang dibutuhkan
penyandang cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah
mendapat persetujuan dari Menteri lain sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya
masing‑masing.
Pasal 21
Sarana dan prasarana umum yang telah ada dan belum
dilengkapi dengan aksesibilitas, wajib dilengkapi dengan aksesibilitas
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 22
(1) Pengawasan dan pengendalian penyediaan
aksesibilitas dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab dari Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I.
(2) Pengawasan dan pengendalian penyediaan
aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
Bagian
Ketiga
Kesamaan
Kesempatan Dalam Pendidikan
Pasal
23
Setiap
penyandang cacat memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama untuk memperoleh
pendidikan pada satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis
dan derajat kecacatannya.
Pasal
24
(1) Setiap penyelenggara satuan pendidikan
bertanggung jawab atas pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama dalam bidang pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab
di bidang pendidikan.
Pasal
25
(1) Penyandang cacat yang karena jenis dan derajat kecacatannya
tidak dapat mengikuti pendidikan yang diselenggarakan untuk peserta didik pada
umumnya, diberikan pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik
yang menyandang cacat.
(2) Pelaksanaan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan
yang berlaku.
Bagian Keempat
Kesamaan Kesempatan Dalam Ketenagakerjaan
Paragraf Kesatu
Tenaga Kerja Penyandang Cacat
Pasal 26
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang sama kepada
tenaga kerja penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi
pekerjaan untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya.
Pasal 27
Pengusaha
wajib memberikan perlakuan yang sama kepada pekerja penyandang cacat.
Pasal 28
Pengusaha harus mempekerjakan sekurang‑kurangnya 1 (satu)
orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi
pekerjaan sebagai pekerja pada perusahannya untuk setiap 100 (seratus) orang
pekerja perusahaannya.
Pasal 29
(1) Pengusaha harus mempekerjakan sekurang‑kurangnya
1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan
kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahannnya, bagi yang memiliki
pekerja kurang dari 100 (seratus) orang tetapi usaha yang dilakukannya
menggunakan teknologi tinggi.
(2) Penggunaan teknologi tinggi dalam usaha
dan jumlah rasio pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setelah mendapat
persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian.
Pasal
30
(1) Persyaratan jabatan dan kualifikasi
pekerjaan bagi penyandang cacat ditetapkan dengan memperhatikan faktor:
a. jenis dan derajat kecacatan;
b. pendidikan;
c. keterampilan dan/atau keahlian;
d. kesehatan;
e. formasi
yang tersedia;
f. jenis
atau bidang usaha;
g. faktor
lain.
(2) Persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan bagi penyandang
cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setelah mendapat pertimbangan dari
Menteri.
Pasal 31
Setiap pekerja penyandang cacat mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dengan pekerja lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan
yang berlaku.
Paragraf Kedua
Iklim Usaha
Pasal 32
(1) Pemerintah menumbuhkan iklim usaha bagi
penyandang cacat yang mempunyai keterampilan dan/atau keahlian untuk melakukan
usaha sendiri atau melalui kelompok usaha bersama.
(2) Penumbuhan iklim usaha bagi penyandnag
cacat oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
Pasal 33
Dunia
usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam menumbuhkan iklim usaha
bagi penyandang cacat.
Pasal 34
(1) Dalam rangka mewujudkan iklim usaha bagi
penyandang cacat, kepada penyandang cacat yang mempunyai keterampilan dan/atau
keahlian yang melakukan usaha sendiri atau melalui kelompok usaha bersama dapat
diberikan bantuan oleh Menteri.
(2) Bantuan bagi penyandang cacat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a. permodalan;
b. fasilitas
usaha;
c. jasa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara dan pelaksanaan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB III
REHABILITASI
Bagian Pertama
Umum
Pasal 35
Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan
kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan
fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan
pengalaman.
Pasal 36
Rehabilitasi
bagi penyandang cacat meliputi rehabilitasi medik, pendidikan, pelatihan dan
sosial.
Pasal 37
(1) Rehabilitasi dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(2) Pendirian fasilitas rehabilitasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang‑undangan yang berlaku.
Pasal 38
(1) Penyelenggaraan rehabilitasi yang dilaksanakan
secara terpadu dalam satu atap oleh masyarakat hanya dapat dilakukan atas dasar
izin dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan, tata cara perizinan, dan pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari
Menteri lain terkait dengan bidang tugas dan fungsinya masing‑masing.
Pasal
39
(1) Terhadap penyandang cacat yang tidak
mampu dapat memperoleh keringanan pembiayaan rehabilitasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
(2) Persyaratan ketidakmampuan seorang
penyandang cacat ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
40
(1) Pelaksanaan rehabilitasi yang
diperuntukkan bagi anggota atau yang dipersamakan dengan anggota Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai
rehabilitasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Ketentuan teknis pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri yang bertanggung jawab
di bidang Pertahanan dan Keamanan.
Bagian Kedua
Rehabilitasi Medik
Pasal 41
Rehabilitasi medik dimaksudkan agar penyandang cacat dapat mencapai
kemampuan fungsional secara maksimal.
Pasal 42
Rehabilitasi
medik dilakukan dengan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui
tindakan medik yang berupa pelayanan:
a. dokter;
b. psikologi;
c. fisioterapi;
d. okupasi terapi;
e. terapi wicara;
f. pemberian alat bantu atau alat
pengganti;
g. sosial medik;
h. pelayanan medik lainnya.
Pasal 43
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi medik bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Rehabilitasi Pendidikan
Pasal 44
Rehabilitasi pendidikan dimaksudkan agar penyandang cacat
dapat mengikuti pendidikan secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuannya.
Pasal 45
Rehabilitasi
pendidikan dilakukan dengan pemberian pelayanan pendidikan secara utuh dan
terpadu melalui proses belajar mengajar.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi
pendidikan bagi penyandang cacat diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di
bidang pendidikan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang‑undangan
yang berlaku.
Bagian Keempat
Rehabilitasi Pelatihan
Pasal 47
Rehabilitasi pelatihan dimaksudkan agar penyandang cacat dapat memiliki
keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Pasal 48
Rehabilitasi
pelatihan dilakukan dengan pemberian pelayanan pelatihan secara utuh dan
terpadu melalui kegiatan yang berupa:
a. asesmen pelatihan;
b. bimbingan dan penyuluhan jabatan;
c. latihan keterampilan dan permagangan;
d. penempatan;
e. pembinaan lanjut.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi pelatihan bagi
penyandang cacat diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang‑undangan
yang berlaku.
Bagian Kelima
Rehabilitasi Sosial
Pasal 50
Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemauan
dan kemampuan penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
optimal dalam hidup bermasyarakat.
Pasal 51
Rehabilitasi
sosial dilakukan dengan pemberian pelayanan sosial secara utuh dan terpadu
melalui kegiatan pendekatan fisik, mental dan sosial yang berupa:
a. motivasi dan diagnosa psikososial;
b. bimbingan mental;
c. bimbingan fisik;
d. bimbingan sosial;
e. bimbingan keterampilan;
f. terapi penunjang;
g. bimbingan resosialisasi;
h. bimbingan dan pembinaan usaha;
i. bimbingan lanjut.
Pasal 52
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat diatur
oleh Menteri.
BAB IV
BANTUAN SOSIAL
Pasal 53
Bantuan sosial diarahkan untuk membantu penyandang cacat agar dapat berupa
meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
Pasal 54
Bantuan sosial
bagi penyandang cacat bertujuan untuk:
a. memenuhi
kebutuhan hidupan dasar penyandang cacat;
b. mengembangan
usaha dalam rangka kemandirian penyandang cacat;
c. mendapatkan kemudahan dalam memperoleh
kesempatan berusaha.
Pasal 55
Bantuan
sosial diberikan kepada:
a. penyandang cacat yang tidak mampu, sudah direhabilitasi, dan
belum bekerja;
b. penyandang cacat yang tidak mampu,
belum direhabilitasi, memiliki keterampilan, dan belum bekerja.
Pasal
56
Bantuan
sosial diberikan dalam bentuk:
a. materiil;
b. finansial;
c. fasilitas pelayanan;
d. informasi.
Pasal
57
(1) Pemberian bantuan sosial dalam bentuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 oleh Menteri, sifatnya tidak tetap dan
dilaksanakan sesuai dengan arah dan tujuan bantuan sosial.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pemberian bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh
Menteri.
BAB V
PEMELIHARAAN
TARAF KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal
58
Pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan
agar penyandang cacat dapat memperoleh taraf hidup yang wajar.
Pasal
59
Pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial diberikan kepada penyandang cacat yang derajat
kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya secara mutlak
tergantung pada bantuan orang lain.
Pasal
60
Pasal 64
Peran
masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat
bertujuan untuk mendayagunakan kemampuan yang ada pada masyarakat guna
mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandnag cacat.
Pasal 65
Peran masyarakat dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, badan hukum
atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang sosial.
Pasal 66
Peran
masyarakat dilakukan melalui:
a. pemberian saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam
rangka penyusunan peraturan perundang‑undangan dan kebijaksanaan di bidang
kesejahteraan sosial penyandang cacat;
b. pengadaan aksesibilitas
bagi penyandang cacat;
c. pendirian fasilitas dan penyelenggaraan
rehabilitasi penyandang cacat;
d. pengadaan dan pemberian bantuan tenaga
ahli atau sosial untuk melaksanakan atau membantu melaksanakan peningkatan
kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat;
e. pemberian bantuan yang berupa materiil,
finansial, dan pelayanan bagi penyandang cacat;
f. pemberian kesempatan dan perlakuan
yang sama bagi penyandang cacat di segala aspek kehidupan dan penghidupan;
g. pengadaan lapangan pekerjaan bagi
penyandang cacat;
h. pengadaan sarana dan prasarana bagi
penyandnag cacat;
i. kegiatan lain dalam rangka upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
Pasal
67
(1) Peran masyarakat dapat bersifat wajib
atau sukarela;
(2) Peran masyarakat yang bersifat wajib
dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
Pasal
68
(1) Menteri menyebarluaskan informasi
mengenai peran masyarakat dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat;
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyebarluasan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 69
Peran masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang
cacat dilaksanakan dengan berpedoman kepada kebijaksanaan Pemerintah dan
ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
BAB VII
KOORDINASI
Pasal 70
Dalam rangka pelaksanaan dan pengendalian upaya peningkatan kesejahteraan
sosial penyandang cacat dibentuk lembaga koordinasi dan pengendalian
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
Pasal 71
Lembaga koordinasi dan pengendalian peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 merupakan lembaga yang
bersifat non struktural yang dipimpin oleh Menteri yang anggota‑anggotanya
terdiri dari unsur Pemerintah, pengusaha, tenaga ahli, tokoh masyarakat, dan
organisasi yang bergerak di bidang sosial.
Pasal 72
Lembaga koordinasi dan pengendalian peningkatan kesejahteraan sosial
penyandnag cacat bertugas menyusun kebijaksanaan dan program pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi, serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial.
Pasal 73
Rincian tugas, fungsi, susunan organisasi, keanggotaan, dan tata kerja
lembaga koordinasi dan pengendalian peningkatan kesejahteraan sosial penyandang
cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 74
Pemerintah dan masyarakat melakukan pembinaan upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat.
Pasal 75
Pembinaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat oleh
Pemerintah dilaksanakan melalui:
a. penetapan
peraturan perundang‑undangan dan kebijaksanaan;
b. penyuluhan;
c. bimbingan;
d. pemberian bantuan;
e. perizinan.
Pasal 76
Pembinaan melalui penetapan peraturan perundang‑undangan dan kebijaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf a dilaksanakan dengan menyusun dan
menetapkan peraturan perundang‑undangan dan kebijaksanaan upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan.
Pasal 77
Pembinaan
melalui penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf b dilakukan untuk:
a. menumbuhkan
rasa kepedulian masyarakat terhadap penyandang cacat;
b. memberikan penerangan berkenaan dengan pelaksanaan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
c. meningkatkan peran para penyandang
cacat dalam pembangunan nasional.
Pasal
78
Pembinaan
melalui bimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf c dilakukan untuk:
a. meningkatkan kualitas penyelenggaraan
upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat;
b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan
penyandang cacat secara optimal.
Pasal
79
Pembinaan
melalui pemberian bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf d dilakukan
untuk:
a. membantu penyandang cacat agar dapat
berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya;
b. membantu penyandang cacat agar dapat
memelihara taraf hidup yang wajar.
Pasal
80
Pembinaan
melalui perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf e dilakukan dengan:
a. penetapan peraturan perundang‑undangan
yang mempersyaratkan pengadaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dalam
pemberian ijin untuk mendirikan bangunan atau ijin lainnya;
b. memberikan kemudahan dalam memperoleh perizinan dalam
penyelenggaraan rehabilitasi bagi penyandang cacat.
Pasal 81
(1) Pembinaan upaya peningkatan
kesejahteraan sosial oleh masyarakat dilaksanakan melalui kegiatan‑kegiatan
dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh pimpinan atau penyelenggara kegiatan dalam upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat terhadap unit kerja pelaksana
kegiatan yang bersangkutan agar berdaya guna dan berhasil guna.
Pasal 82
(1) Dalam rangka pembinaan, Menteri dapat
melakukan kerja sama dengan badan atau lembaga internasional dan/atau instansi
Pemerintah asing berkenaan dengan upaya peningkatan kesejakteraan sosial
penyandang cacat.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal
83
(1) Dalam rangka pembinaan, Menteri dapat
memberikan penghargaa kepada masyarakat yang telah berjasa dalam mewujudkan
upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa:
a. piagam
atau sertifikat;
b. lencana
atau medali kepedulian;
c. tropy atau miniatur kemanusiaan;
d. insentif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan dan tata cara pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Bagian
Kedua
Pengawasan
Pasal
84
Pemerintah
melakukan pengawasan pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat.
Pasal
85
Pengawasan
upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 86
Segala ketentuan yang berkaitan dengan usaha kesejahteraan sosial bagi
penyandang cacat yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 36
Tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat, sepanjang
tidak bertentangan dan belum diganti/diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 87
Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat
(Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3179)
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 88
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di Jakarta
Pada tanggal 21 Maret 1998
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di
Jakarta
Pada tanggal 21
Maret 1998
MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
SAADILLAH
MURSJID
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 70
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 TAHUN 1998
TENTANG
UPAYA PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT
UMUM
Dalam pembangunan nasional, penyandang cacat mempunyai kedudukan, hak, kewajiban,
dan peran yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya. Oleh karena itu peran penyandang cacat dalam pembangunan
nasional perlu untuk lebih ditingkatkan serta didayagunakan seoptimal mungkin.
Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang diundangkan
pada tanggal 28 Februari 1997 merupakan suatu bentuk upaya dari Pemerintah
bersama‑sama dengan masyarakat untuk meningkatkan peran penyandang cacat dalam
pembangunan nasional. Dalam Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat tersebut menitikberatkan kepada upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat di segala aspek kehidupan dan penghidupan guna mewujudkan
kesamaan kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat.
Untuk melaksanakan upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat,
Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyadang Cacat mengamanatkan untuk
menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Peraturan Pemerintah sebagai peraturan
pelaksanaan dari Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Sehubungan dengan hal tersebut, Peraturan Pemerintah ini disusun untuk
memberikan kejelasan serta menjabarkan secara utuh Undang‑undang Nomor 4 Tahun
1997 tersebut berkenaan dengan upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat agar pelaksanaannya dapat memberikan hasil yang optimal
sehingga dapat terwujud kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat.
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini meliputi kesamaan kesempatan, rehabilitasi, pemberian
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial yang dilaksanakan
oleh dan menjadi tanggung jawab bersama dari Pemerintah, masyarakat, keluarga
dan penyandang cacat sendiri.
Kesamaan kesempatan diwujudkan melalui penyediaan aksesibilitas bagi
penyandang cacat baik yang berbentuk fisik maupun yang berbentuk non fisik pada
sarana dan prasarana umum.
Pengaturan mengenai pembinaan dimaksudkan agar pelaksanaan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat dapat dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku serta kebijaksanaan
Pemerintah.
Selain hal tersebut di atas, Peraturan Pemerintah ini juga mengatur
mengenai pengawasan, lembaga koordinasi dan pengendalian peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat.
PASAL DEMI
PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
Pasal 2
Jenis kecacatan sebagaimana diatur dalam Undang‑undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat adalah terdiri dari cacat fisik,
cacat mental dan cacat fisik dan mental.
Penentuan jenis dan tingkat derajat
kecacatan yang dimaksud dalam Pasal ini dilakukan apabila terjadi keragu‑raguan
tentang kecacatan yang disandang seseorang.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan
kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial
materiil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan
ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang
sebaik‑baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak dan kewajiban warga negara sesuai dengan Pancasila.
Penjelasan
pengertian kesejahteraan sosial ini berlaku seterusnya untuk pengertian yang
sama, kecuali ditentukan lain dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan
meliputi antara lain aspek agama, kesehatan, pendidikan, sosial,
ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan
keamanan, olah raga, rekreasi dan informasi.
Penjelasan pengertian aspek kehidupan
dan penghidupan ini berlaku seterusnya untuk pengertian yang sama, kecuali
ditentukan lain dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Kewajiban penyediaan aksesibilitas yang
dimaksud dalam Pasal ini tidak dikenakan sanksi pidana, namun dapat dikenakan
sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang
berlaku.
Pasal 9
Dengan
adanya aksesibilitas, maka penyandang cacat dapat memperoleh dan memanfaatkan
kesamaan kesempatan seperti anggota masyarakat lainnya dalam berbagai aspek
kehidupan dan penghidupan sehingga dapat menunjang mobilitas dan kemandirian
penyandang cacat.
Pasal
10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Pelayanan
informasi dapat diberikan melalui antara lain suara, bunyi, atau tulisan yang
diperuntukkan bagi penyandang cacat.
Huruf b
Pelayanan
khusus misalnya tempat loket penjualan tiket angkutan umum yang diperuntukkan
khusus bagi penyandang cacat.
Pasal
12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Yang dimaksud dengan Menteri lain adalah para Menteri selain
Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesejahteraan sosial, yang bidang
tugas dan fungsinya terkait secara langsung dalam pelaksanaan upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat.
Penjelasan pengertian Menteri lain
berlaku seterusnya untuk pengertian yang sama, kecuali ditentukan lain dalam
penjelasan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal
19
Cukup jelas
Pasal
20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
penyediaan aksesibilitas yang dilakukan secara bertahap adalah dengan
mempertimbangkan kemampuan Pemerintah dan masyarakat serta didasarkan kepada
kebutuhan dan prioritas penyandang cacat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
21
Penyediaan
aksesibilitas pada sarana dan prasarana umum yang telah ada tersebut
pelaksanaannya secara bertahap serta memperhatikan prioritas aksesibilitas yang
dibutuhkan penyandang cacat. Sekalipun secara bertahap, penyediaan
aksesibilitas tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
penyelenggara/pengelola sarana dan prasarana umum.
Pasal
22
Ayat (1)
Cukup jelas
*35772
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Perlakuan yang sama dimaksudkan agar penyandang cacat
sebagai peserta didik mendapatkan kesamaan perlakuan sebagaimana peserta didik
lainnya, termasuk di dalamnya kesamaan perlakuan untuk mendapatkan sarana dan
prasana pendidikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan satuan,
jalur, jenis dan jenjang pendidikan adalah sebagaimana diatur dalam Undang‑undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidian Nasional.
Pasal
24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
penyelenggara satuan pendidikan adalah Pemerintah atau masyarakat yang
menyelenggarakan kegiatan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang‑undangan yang berlaku di bidang pendidikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
25
Ayat (1)
Pendidikan yang khusus
diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang cacat adalah pendidikan
luar biasa.
Yang dimaksud dengan
pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi
peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.
Ayat (2)
Peraturan perundang‑undangan
yang berlaku dalam ayat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991
tentang Pendidikan Luar Biasa.
Pasal
26
Ketentuan
dalam Pasal ini mempertegas kembali ketentuan yang diatur dalam Undang‑undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Setiap
tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan
dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras dan agama,
sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan. Hal ini
termasuk tenaga kerja penyandang cacat.
Pasal
27
Ketentuan
dalam Pasal ini mempertegas kembali ketentuan yang diatur dalam Undang‑undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam hal ini pengusaha wajib memberikan tanggung jawab
dan hak‑hak pekerja tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan agama. Hal
ini termasuk pekerja penyandang cacat.
Pasal 28
Keharusan mempekerjakan penyandang
cacat pada perusahaan oleh pengusaha adalah sebagaimana diatur dalam Undang‑undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Pasal
29
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal
28
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
30
Ayat (1)
Huruf a
Cukup
jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Setiap
penyandang cacat yang boleh melakukan pekerjaan adalah penyandang cacat yang
sehat jasmani dan rohani. Pernyataan sehat dinyatakan dalam surat keterangan
dokter.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
31
Ketentuan
peraturan perundang‑undangan yang berlaku dalam Pasal ini adalah Undang‑undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan perundang‑undangan
lainnya di bidang ketenagakerjaan.
Pasal
32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penumbuhan
iklim usaha telah diatur dalam berbagai peraturan perundang‑undangan dan
kebijaksanaan Pemerintah, antara lain Undang‑undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang
Usaha Kecil.
Pelaksanaan penumbuhan
iklim usaha bagi penyandang cacat didasarkan kepada peraturan perundang‑undangan
dan kebijaksanaan Pemerintah yang ada juga kondisi serta keterampilan dan/atau
keahlian penyandang cacat yang bersangkutan.
Pasal
33
Cukup jelas
Pasal
34
Ayat (1)
Bantuan yang diberikan
oleh Menteri merupakan stimulan untuk mendorong dan menggiatkan penyandang
cacat dalam menciptakan dan mengembangkan lapangan pekerjaan bagi penyandang
cacat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal
35
Yang
dimaksud dengan fungsi sosial adalah kemampuan dan peran seseorang untuk
berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara
wajar.
Pasal
36
Cukup jelas
Pasal
37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
fasilitas rehabilitasi adalah sarana dan prasarana pelayanan rehabilitasi,
antara lain pusat rehabilitasi, panti sosial, rumah sakit, lembaga pelatihan
dan unit rehabilitasi sosial keliling.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
rehabilitasi yang dilaksanakan secara terpadu adalah penanganan rehabilitasinya
baik medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial dilakukan sebagai satu kesatuan
di dalam satu lembaga rehabilitasi.
Ayat (2)
Menteri
lain terkait dalam Pasal ini adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
tidak mampu adalah tidak mampu dari segi kondisi serta keadaan finansial untuk
membiayai pelaksanaan rehabilitasi.
Keringanan
pembiayaan dapat seluruh atau sebagaian biaya pelaksanaan rehabilitasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
41
Yang
dimaksud dengan kemampuan fungsional secara maksimal adalah dapat melaksanakan
fungsi organ tubuhnya dalam rangka melaksanakan kegiatan dengan selayaknya
sesuai dengan kecacatan yang disandang.
Pasal
42
Cukup jelas
Pasal
43
Ketentuan
peraturan perundang‑undangan yang berlaku dalam Pasal ini adalah Undang‑undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal
44
Cukup jelas
Pasal
45
Cukup jelas
Pasal
46
Ketentuan
peraturan perundang‑undangan yang berlaku dalam Pasal ini adalah Undang‑undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan
pelaksanaannya.
Pasal
47
Cukup jelas
Pasal
48
Huruf a
Asesmen pelatihan
dimaksudkan sebagai kegiatan pendaftaran bagi penyandang cacat dalam rangka
menemukenali bakat, minat untuk menentukan jenis keterampilan yang akan
diberikan.
Huruf b
Bimbingan dan penyuluhan
jabatan dimaksudkan sebagai proses pemberian penerangan tentang potensi diri
yang meliputi intelegensia, bakat, minat, dan kepribadian.
Huruf c
Latihan keterampilan ini
dimaksudkan sebagai upaya peningkatan mutu/kualitas tenaga kerja penyandang
cacat agar pemakai jasa tenaga kerja penyandang cacat merasa saling membutuhkan
dan ditangani secara profesional.
Huruf d
Penempatan di sini
dimaksudkan sebagai upaya penggunaan tenaga kerja penyandang cacat secara
optimal dan produktif berdasarkan prinsip penempatan tenaga kerja yang tepat
pada pekerjaannya.
Huruf e
Pembinaan lanjut ini
dimaksudkan sebagai upaya pemantapan dan pengembangan kemampuan penyandang
cacat.
Pasal
49
Cukup jelas
Pasal
50
Cukup jelas
Pasal
51
Huruf a
Kegiatan ini dimaksudkan
untuk menumbuhkembangkan/ mendorong penyandang cacat dalam mengikuti program
rehabilitasi sosial.
Huruf b
Kegiatan ini dimaksudkan
untuk mendorong kemauan dan kemampuan penerimaan pelayanan serta pembinaan
ketaqwaan.
Huruf c
Kegiatan ini dimaksudkan
untuk memelihara kesehatan jasmani dan perkembangannya.
Huruf d
Kegiatan ini dimaksudkan
untuk menumbuhkembangkan kemampuan peserta latihan secara perseroan agar dapat
mengatasi segala permasalahan sosial yang dihadapi.
Huruf e
Kegiaan ini dimaksudkan
untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial
penyandang cacat agar mau dan mampu bekerja sesuai dengan bakat, kemampuan dan
pengalamannya.
Huruf f
Kegiatan ini ditujukan
kepada penyandang cacat yang mempunyai kelainan tambahan agar dapat menunjang
dalam kegiatan lainnya.
Huruf g
Kegiatan ini dimaksudkan
untuk mempersiapkan penyandang cacat dan masyarakat lingkungannya agar terjadi
integrasi sosial dalam hidup bermasyarakat.
Huruf h
Kegiatan ini dimaksudkan
untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan keterampilan agar usaha/
kerja yang dilakukan dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Huruf i
Kegiatan ini dimaksudkan
sebagai upaya pemantapan dalam kehidupan dan penghidupan penyandang cacat dalam
hidup bermasyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar